Jumat, 09 Juli 2010

Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan

Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan digambarkan sebagai hubungan ontologis dan epistemologis. Dalam konteks semakin menguatnya dan timbulnya etno-nasionalisme, maka hubungan antara pendidikan dan kebudayaan semakin menonjol. Sedangkan di dalam prakteknya, ada berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu pendidikan multi-kultural, pendidikan trans-kultural, dan pendidikan interkultural. Tujuan model pendidikan ini adalah untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat (Tilaar, 2002).

Pendidikan inter-kultural ditekankan kepada eksistensi budaya-budaya atau sub-budaya yang ada. Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam praksis pendidikan selama Orde Baru.


Model yang tepat bagi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang berada dalam masa otonomi daerah ialah pendidikan multi-kultural. Artinya masing-masing budaya etnis yang ada di dalam masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang. Di dalam pengembangan tersebut tidak ada campur tangan pemerintah, tetapi sepenuhnya menjadi urusan masyarakat itu sendiri sebagai pemilik kebudayaan. Pemerintah hanya menjaga supaya tidak terjadi benturan budaya yang merugikan. Pemerintah mempunyai tugas untuk menjaga perkembangan budaya yang alamiah dan kemungkinan terjadinya akulturasi atau pengembangan budaya. di dalam model trans-kultural ada kemungkinan pemerintah mempunyai keinginan untuk memaksakan adanya unsur-unsur yang universal yang harus dilaksanakan oleh semua budaya etnis. Di dalam model inter-kultural yang dipentingkan bukannya perkembangan sub budaya itu sendiri, tetapi bagaimana antar sub-budaya berinteraksi sehingga tidak terjadi ketegangan-ketegangan.

Dalam masyarakat Indonesia pendidikan multi-kultural mempunyai berbagai orientasi. Pertama adalah reorientasi visi pendidikan. Dalam kerangka otonomi daerah, visi pendidikan di daerah haruslah tmbuh dan berkembang dalam konteks budaya di mana lembaga pendidikan itu berada. Pengetahuan mengenai budaya lokal bagi para pendidik tentunya merupakan syarat. Orientasi kedua adalah bagaimana peran pendidikan nasional sebagai pengiring kebudayaan nasional dapat dicapai melalui proses kegiatan belajar mengajar di sekolah/lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Sedangkan orientasi ketiga adalah bagaimana kita memperkenalkan kebudayaan nasional kepada peserta didik, baik itu berupa ide (gagasan), sistem sosial masyarakat atau perilaku/moral/akhlak yang baik. Di samping itu, boleh juga kita memperkenalkan budaya asing yang tidak melanggar/menyalahi budaya asli seperti etos kerja, menjaga kebersihan, ketertiban, sikap toleransi dan lain sebagainya.

Dengan demikian diperlukan pembentukan watak, peradaban, manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan sebagainya sebagai proses pembudayaan yang dapat dilakukan saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar atau proses pendidikan.

1. Pendidikan dan Proses Pewarisan Budaya

Sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).

2. Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan (enkulturasi).

Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Daoed Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk bio-sosial.

Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini, Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Ibnu Khaldun mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.

Lebih jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur’an dan Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau metafisika), ilmu matematika, ilmu musik “ pengetahuan tentang asal-usul ritme, ilmu hay’ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.

Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.

Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama proses belajar– sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.

3. Proses Pembudayaan melalui Pendidikan Formal

Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental) yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.

Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis.
Referensi :
Idris, Z. dan L. Jamal, 1992. Pengantar Pendidikan: Jakarta. Grasindo.
Syamsu Yusuf, 2006. Perkembangan Anak dan Remaja: Bandung. PT. Rineka Cipta.
Saifullah, Ali. (1982). Pendidikan-Pengajaran dan Kebudayaan : Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, Surabaya : Usaha Nasional.
Tung, Khoe Yao., (2001). Pendidikan dan Riset di Internet, Dinastindo, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar