Jumat, 09 Juli 2010

Pendidikan untuk Kebudayaan

Salah satu fungsi pendidikan secara umum yang amat penting dan strategis ialah mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakblak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir.


Pada level yang lain pendidikan juga menimbulkan kemampuan individu menghargai dan menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis,yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional.

Peranan pendidikan terhadap kebudayaan diakui oleh semua negara. Itulah sebabnya semua negara maju menganut paradigma bahwa pendidikan adalah sektorpublik. Artinya publik dengan berdasarkan kemampuan penalaran individual yang didukung oleh akhlak mulia, maka setiap individu memiliki akses secara demokratis untuk mendapatkan pendidikan yang mutu. Jalur yang paling demokratis untuk meningkatkankualitas diri dan melakukan mobilitas sosial, adalah pendidikan. Itulah sebabnya endidikan tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya siapa yang berani embayar mahal itulah yang dapat. Hal ini akan meruntuhkan kebudayaan dan eradaban. Justru itu negara harus mengambil peranan dengan menyediakan dana yang cukup agar pendidikan tidak terjebak pada mekanisme pasar, dan supaya pendidikan tetap berada dijalur yang benar sebagai sektor publik yang mampu berperan dalam mengembangkan kebudayaan yang rasional, demokratis, berkeadilan dan tidak
diskriminatif.
Dalam Undang-undang Sisdiknas yang akan mengikat segenap bangsa Indonesia dalam kurung waktu ke depan, telah ditetapkan tentang pendanaan pendidikan (Bab XIII) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat. Demikian juga dana pendidikan diluar gaji pendidik, dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN kesektor pendidikan dan 20% dari APBD. Jelas kemauan politik untuk menjadikan pendidikan sebagai sektor publik yang harus dibiayai oleh pemerintah, telah ditetapkan dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai penjabaran UUD 1945 (pasal 31 ayat 4).
Selain itu dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai salah satu prinsip pendidikan, yaitu bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dan memberdayakan semua komponen masyarakat masyarakat (pasal 4). Bahkan secara khusus pendidikan nasional digariskan fungsinya secara jelas. yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 3). Demikian juga tujuannya jelas berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).

Iman dan taqwa serta akhlak mulia, sehat dan ilmu sangat diperlukan oleh setiap
individu untuk menopang kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan dapat dipahami sebagai gagasan vital yang dimiliki oleh setiap orang dalam merespons lingkungannya.

D. Pendidikan sebagai Strategi Kebudayaan

Pendidikan merupakan instrumen penting dan strategis untuk mendorong perubahan sosial di masyarakat. Namun, pendidikan menempuh jalan tengah antara aliran marxisme yang radikal-revolusioner dan aliran humanisme yang menempuh cara evolusi dalam menggerakkan perubahan.
Pendidikan mengombinasikan antara progresivitas kaum Marxian dan pendekatan gradual milik kaum humanis. Pendidikan dapat melahirkan manusia yang cerdas dan berpengetahuan yang memiliki kesadaran tinggi untuk melakukan gerakan-gerakan sosial, yang dapat mendorong perubahan masyarakat. Transformasi sosial selalu bermula dari lapisan masyarakat terpelajar yang memiliki kesadaran kritis terhadap kondisi sosial politik di dalam masyarakat. Pengalaman sejarah semua bangsa menunjukkan perubahan sosial acap kali dipelopori oleh kalangan elite terdidik. Kaum intelektual dan lapisan terpelajar selalu menjadi motor penggerak perubahan sosial. Dalam perspektif sosiologis, pendidikan akan melahirkan lapisan sosial baru yang dalam struktur piramida sosial berada pada posisi kelas menengah. Lapisan kelas menengah itu mengantarai lapisan elite dan lapisan akar rumput sehingga dapat menjembatani dua kepentingan kelompok sekaligus. Dengan demikian, lapisan kelas menengah itu merupakan bagian dari kelompok strategis, yang akan memainkan peranan sentral dalam dinamika sosial kemasyarakatan.

Pendidikan bertujuan membangun totalitas kemampuan manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan tiga aspek dalam diri setiap manusia: (1) cognitive learning, yang meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, potensi, dan daya intelektualitas; (2) affective development, yang meliputi penanaman nilai-nilai moralitas dan religiositas, pemupukan sikap emosionalitas dan sensibilitas; dan (3) practical compentence, yang mencakup pengembangan kemampuan adaptasi sosial, pemupukan daya sensitivitas terhadap persoalan sosial kemasyarakatan, pembinaan kapasitas diri untuk memperluas berbagai pilihan dalam pekerjaan, kesehatan, kehidupan keluarga, dan masalah-masalah praktis yang lain. Pendidikan sejatinya adalah membangun manusia dalam spektrum holistik yang melingkupi keseluruhan potensi yang dimilikinya. Melalui proses pendidikan seluruh dimensi kemanusiaan dapat tumbuh-kembang secara optimal. Bowen (1997) menulis, ‘Education should be directed toward the growth of the whole person trough the cultivation not only of the intellect and of practical competence but also of the affective dispositions, including the moral, religious, emotional, social, and esthetic aspects of the personality’.

Pendidikan juga merupakan wahana untuk meningkatkan kapasitas individual dan sosial setiap orang dalam keseimbangan yang sempurna. Secara individual, pendidikan akan meningkatkan pengetahuan, informasi, dan keterampilan teknis sehingga seseorang memiliki kompetensi untuk memperkuat daya sintas (survival)-nya dalam kehidupan. Secara sosial, pendidikan akan memberi bekal kepada seseorang dalam hal keterampilan sosial berupa kemampuan bersosialisasi, beradaptasi, berinteraksi dalam masyarakat, menjalin relasi sosial, memupuk sikap toleransi dalam dinamika kehidupan masyarakat, dan menanamkan sikap perhargaan atas realitas kemajemukan sosial, memupuk jiwa kepemimpinan, serta menumbuhkan komitmen pada demokrasi dan pembangunan masyarakat madani. Dalam kata-kata Jan Szczepanski, sosiolog dan ahli pendidikan Polandia, pendidikan dimaksudkan sebagai preparation for participation in social and cultural life, the development of the cultural values to keep up the cultural identity of the nation.

Dalam konteks demikian, memahami pendidikan sebagai strategi kebudayaan antara lain harus memberikan penekanan pada dimensi pendidikan kewargaan (civic education). Sebagai bangsa yang majemuk, dimensi pendidikan kewargaan harus dipupuk dan diperkuat untuk dapat mengembangkan orientasi dan wawasan mengenai realitas kehidupan kebangsaan yang pluralistik. Dalam pendidikan kewargaan kita ingin membangun kesadaran setiap warga masyarakat tentang kenyataan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa. Bangsa ini dibangun di atas landasan keberagaman agama, etnik, ras, budaya, dan adat-istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan tiap pihak. Bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural sehingga setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara koeksistensial.

Multikulturalisme mengandaikan adanya keinsafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa, dengan semangat saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Multikulturalisme mengandaikan pula adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional, serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi, tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral. Di dalam masyarakat multikultural tidak ada kelompok etnik tertentu yang dapat mendominasi dan menyubordinasi kelompok etnik lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Karena itu, pendidikan kewargaan menjadi sangat penting terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Penekanan pada pendidikan kewargaan ini amat penting untuk dapat mereduksi atau mengeliminasi potensi konflik dalam masyarakat majemuk. Dengan demikian, upaya membangun harmoni sosial dapat terlaksana sehingga kohesi di dalam masyarakat akan tercipta. Sebagai suatu bentuk strategi kebudayaan, pendidikan juga dimaksudkan untuk menyiapkan individu dan masyarakat agar dapat membangun kehidupan modern. Pendidikan merupakan pangkalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; wahana sosialisasi nilai, pembinaan sikap mental dan karakter; pemupukan jiwa kreatif yang dapat mendorong tumbuhnya iklim kebebasan dan daya cipta sehingga terbuka kemungkinan dilakukannya berbagai eksperimentasi.

Melalui jalan eksperimentasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat berkembang maju dengan tetap berpijak pada basis budaya masyarakat sebab perkembangan dan kemajuan iptek tak mungkin dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan masyarakat bersangkutan.

Salah satu ukuran keberhasilan pendidikan adalah ketika mampu melahirkan individu-individu yang berjiwa otonom dan bebas. Otonomi dan kebebasan merupakan basis bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran progresif dan visioner, yang memiliki jiwa kreatif sehingga dapat mengembangkan daya imajinasi secara maksimal. Sebaliknya, pendidikan dinilai gagal bilamana hanya melahirkan, meminjam istilah Erich Fromm, automaton–makhluk hidup yang bergerak dan berpikir menyerupai mesin. Manusia automaton sejatinya kehilangan hakikat diri karena tak punya otonomi dan kebebasan sehingga tak mampu mengembangkan jiwa kreatif. Daya imajinasi menjadi tumpul, sulit melahirkan pemikiran-pemikiran progresif dan visioner yang mencerahkan. Padahal, dengan jiwa kreatif dan daya inovasi manusia akan mampu bangkit untuk mencapai kemajuan.

Individu yang berjiwa kreatif dan inovatif selalu memandang realitas kehidupan dengan perspektif optimistik, yang disertai daya kritisisme untuk selalu mempersoalkan dan menggugat tradisi dan kebudayaan yang ada. Kebudayaan bukan sesuatu yang statis, tetapi bergerak dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat. Kebudayaan berkembang secara dialektis mengikuti dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Dalam konteks kebudayaan, pendidikan merupakan wahana bagi proses pencerdasan masyarakat, yang dilakukan secara sistematik dan programatik untuk memperkuat akar-akar tradisi dan kebudayaan bangsa, dengan tetap membuka diri bagi proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Karena itu, dalam proses pendidikan niscaya akan berlangsung suatu interaksi dialektis di antara beragam pemikiran dan nilai-nilai, yang menghasilkan inovasi dan akulturasi. Pendidikan sebagai strategi kebudayaan akan terasa lebih bermakna ketika mampu memberi kontribusi dalam proses perkuatan institusi-institusi sosial dan budaya. Juga dapat melahirkan critical mass yang mampu menyuarakan aspirasi masyarakat yang kemudian dapat meningkatkan kapasitas bangsa, the improving capacity of a nation.







Referensi :
Idris, Z. dan L. Jamal, 1992. Pengantar Pendidikan: Jakarta. Grasindo.
Syamsu Yusuf, 2006. Perkembangan Anak dan Remaja: Bandung. PT. Rineka Cipta.
Saifullah, Ali. (1982). Pendidikan-Pengajaran dan Kebudayaan : Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, Surabaya : Usaha Nasional.
Tung, Khoe Yao., (2001). Pendidikan dan Riset di Internet, Dinastindo, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar